“Ya Hayyu ya Qoyyum bi-rahmatika as-taghiits, wa ash lih lii sya’nii kullahu wa laa takilni ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan”
Wahai Rabb Yang Maha Hidup, Wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmatMu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekalipun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu)
Doa di atas merupakan bagian dari zikir pagi petang, yang belum lama kuketahui, yakni saat pandemi. Pandemi yang sempat mengobrak abrik hati kita, tetapi rupanya ada hikmah besar, yakni untuk menatanya kembali dengan cara yang lebih tepat. Menata hati untuk lebih bertawakal kepada Allah. Pandemi, yang menutup segala celah interaksi, memaksa kita untuk hidup lebih mandiri, sekaligus menyadari, bahwa ada kekuasaan besar di luar diri kita. Itulah kuasaNya.
Kita jadi bisa memahami, ketika Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam mengajarkan tasbih 33x, tahmid 33x dan takbir 34x kepada Fatimah dan Ali, sebagai sesuatu yang lebih baik dari permintaan mereka kala itu, yakni ART untuk membantu pekerjaan Fatimah. Rupanya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam ingin yang terbaik bagi putrinya, dari sisi akhirat. Tanpa ART membuat lebih tawakal, dan dari kisah ini, akhirnya banyak perempuan bisa belajar, karena tidak setiap ibu di masa kini bisa menggunakan jasa ART. Terlebih saat pandemi. Dzikir rupanya bisa menghilangkan rasa lelah fisik, jika benar-benar diresapi dalam hati.
Dzikir membuat kita tahu, bahwa Allah akan menolong kita, meski terkesan kita hanya sendirian. Sebaliknya, ketika kita lupa dan hanya mengandalkan kekuatan semata, ataupun makhluk, saat itu segala urusan malah jadi kocar kacir.
Upaya kita sebagai makhluk yang tak sempurna, biarlah disempurnakan olehNya. Itulah mengapa, doa meminta pertolongan kepada Allah menjadi sangat penting.

Suatu ketika, seorang ibu tak bisa bergerak leluasa saat anaknya sakit. Si anak terus menerus meminta gendong semalaman hingga ibu ini tak bisa tidur. Sang suami merasa kasihan padanya dan ingin menggantikan, namun upaya itu ditolak si anak. Rasa tak tega melihat istrinya yang tampak lelah, terus membuatnya berusaha menggantikan hingga setengah memaksa. Anak justru menangis kencang. Di antara lelah, istrinya pun berkata. “Kalau kamu kasihan, cukup doakan aku..” Ya, di posisi itu, suami rupanya tak diizinkanNya sebagai perantara untuk membantu secara fisik. Namun, bantuan doa itu, sungguh luar biasa. Ia bisa menjelma sebagai kekuatan untuk terus bertahan.
Di waktu lain, kala sang istri melihat suaminya tampak kelelahan akibat pekerjaan kantor yang membuatnya pulang malam, ia merasa kasihan, tetapi bingung bantuan apa yang sekiranya bisa dilakukan untuk meringankan pekerjaannya, selain menyajikan makanan dan mengurus keperluan, yang ia pun sadar dalam kedua hal itu, ia masih banyak kekurangan. Betapa terkejut istri mendengar tutur suami yang seakan meng-copy paste ucapannya pada malam saat anak mereka sakit. “Kalau kamu kasihan, cukup doakan aku..”
Doa. Ah ya, doa. Kisah suami istri itu membuatku kembali merenung. Kehidupan rumah tangga itu tidak mudah, maka perlu sekali meminta pertolongan Allah dalam menjalaninya. Seberapa kuat aku berdoa? Seberapa kuat aku dalam meminta pertolongan kepadaNya? Semoga momentum bulan Muharam ini, membuat kita lebih kuat lagi dalam melibatkanNya pada setiap urusan kita. Hijrah dari hanya mengandalkan ikhitiar semata, menjadi ikhtiar plus doa yang lebih dikuatkan lagi. Semoga Allah membimbing kita. Aamiin.
P